Pada Akhirnya, Penumpang Tetaplah Penumpang (Jilid I)


Mengenai humanis. Saya jadi teringat dengan seorang senior di kampus. Ia sosok yang saya kagumi, dulu. Kini, masih sama meski ada tagar-tagar mengenai dirinya yang tak seharusnya tercerabut dari ruang di kepala.

Saya suka sikapnya, caranya mengajak kami yang ketika itu masih unyu-unyu untuk mulai membuka suara ketika berpendapat, saya suka caranya mengikutsertakan kami pada setiap kegiatan apa pun dengan cara yang membuat kami tak lagi canggung. Saya suka dakwah menulisnya pada kami yang terasa simpel. Wanita berjilbab itu, saya menyukainya pada banyak hal.

Suatu hari, saya terkaget-kaget melihatnya tak mengenakan jilbab. Mata saya yang seharusnya terbelalak tak menunjukkan ekspresi kekagetan, ekspresi yang seharusnya muncul saat itu. Saya diam. Pikiran saya kelana mencari-cari ruang dengan namanya di pikiran. Keheningan di tempat itu sempurna menyeruakkan kecanggungan tak biasa. Mungkin ia tahu pada diamnya saya berarti ribuan pertanyaan tersumpal di benak.

Kebekuan di hari itu berlalu. Berhari-hari saya menyimpan suara untuk tak mau berkomentar apa-apa dan bercerita pada siapa-siapa. Saya ingin menutup rapat-rapat hal itu. Berharap ada yang keliru pada hari kemarin ketika saya berjumpa dengannya. Pikiran saya terus saja berputar-putar tak tentu sampai pada suatu ketika saya merasa tak bisa lagi menahan pikiran itu menggelayuti otak saya. Akhirnya saya bertanya pada salah satu teman yang memang lebih intens berjumpa dengannya karena berada dalam satu komunitas. Percakapan kami berakhir tanpa benar-benar berakhir.

Suatu ketika saya dan teman-teman berkumpul di ruang itu, kembali. Satu persatu teman yang hadir menampakkan kebekuan yang mungkin hampir sama dengan yang saya lakukan beberapa waktu lalu.Tepat hari itu, ketika kami semua berkumpul di ruangan itu, salah satu dari kami sekonyong-konyong menyatakan kegundahannya pada suasana beku yang telah beberapa hari ini bertengger karena perubahan darinya. Ia mengatakan hal itu untuk menyelesaikan berkeliarnya tanya-tanya yang ada pada kami. Apa itu terlihat jelas di wajah kami? Entahlah…

Akhirnya ia bersuara. Jawabannya cukup mengejutkan ternyata. Versi ingatan saya, ia mengatakan tengah belajar. Belajar tentang humanis. Pikiran saya mencoba menjejaki kosakata humanis meski saya tak begitu paham sesungguhnya humanis itu seperti apa. Tak banyak yang muncul dari hasil pencarian cepat saya. Beberapa diantaranya berwujud wajah-wajah bahagia, uluman senyum, tangan yang memberi, hati yang dipenuhi kebaikan dan beberapa sosok manusia-manusia luar biasa. Sepertinya masih ada yang tersisa tapi yah, sepantaran itulah yang saya ingat.

Saya mafhum ia memang penulis sejati. Puisinya telah banyak beredar di harian-harian nasional pun buku puisinya telah banyak yang terbit. Komunitas menulis yang ia geluti pun memang sedikit banyak saya ketahui memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk menuangkan pikiran. Saya kira sastra pada ranah kebanyakan memang sering seperti itu. Akan tetapi tetap saja, nak sebebas-bebasnya burung terbang, hingga kini ia masih terbang di lingkaran pagar bernama bumi.

Ia juga mengatakan kalau ia ingin melihat sosok humanis dari orang-orang yang dikenalnya. Apakah dengan penampilannya yang sangat berbeda akan membuat orang-orang di sekelilingnya menatapnya dengan berbeda. Apalagi dengan keadaan seperti sekarang ini ketika ia menggugurkan satu kewajiban yang fundamental dari agama.

Dikatakannya juga bahwa ia risih dengan perilaku para akhwat sekarang yang kebanyakan hanya menjadikan jilbab bukan sebagai syariat tapi fashion yang tak cermat. Itulah yang dikatakannya waktu itu.

Belum Rela
Kutanyakan padanya bahwa apa ia sadar dan tahu dengan keputusan yang diambilnya? Jawabannya sangat jelas. Ia tahu. Bahkan surat dalam Al-Qur'an yang menerangkan mengenai kewajiban menutup aurat (An-Nur ayat 31 yang sering saya lupa ayat berapa) itu pun telah ia hapal benar bahkan sepertinya ia lebih paham dari kami-kami yang berada di sana ketika itu. Lalu? Saya terdiam. Pada tahap ini saya merasa sangat bodoh. Mempertahankan seorang teman seiman untuk memenuhi kewajibannya itu sungguh tak mudah jika bukan dari dirinya. Ia pun seingat saya menutup penjelasannya bahwa keadaannya seperti ini tak menutup kemungkinan dirinya akan beralih kembali untuk memenuhi kewajiban itu, jika ia.

Lalu sekarang?

Seperti kataku tadi, hanya mereka yang benar-benar sadar yang akan menyadari betapa kewajiban adalah sebuah keharusan untuk kemudian menindaklanjuti pemberian hak dari sang pencipta. Tapi, aku tak tahu akan berkata apa, teman.

Setelah hari itu, aku dan teman-teman ternyata masih menjadikannya tagar teratas perbincangan di antara kami.

Berhari-hari setelah itu, tetap saja saya belum rela dengan keputusan senior tercinta saya itu untuk menanggalkan jilbabnya hanya gara-gara ideologi barat perayu dunia bernama humanis.

Mengenai alasannya karena lelah melihat fenomena fashion hijab yang menggarang, ingin saya katakan, Hai, Mbak… biarkan saja. Mungkin itu salah satu cara mereka untuk memulai mendekatkan diri kepada pencipta. Suatu hari mereka akan sadar, tapi jalan mana yang akan dipilih, tergantung pengemudi bukan pemilik mobil.

Pikiran saya kemudian bercakap panjang, 

Lalu mengapa kita tak mencoba untuk menjadi salah satu pemeran utama protagonis dalam lingkaran terdekat kita?. Biarkan mereka melihat sendiri jilbab seperti apa yang sesungguhnya benar-benar disyariatkan bukan malah kita yang keluar dari lingkaran jilbab itu sendiri. Terang saja dengan keputusan itu tak mengubah apa pun untuk perempuan penggelut hijab fashion. Belajar humanis? Hai, Mbakku yang kucintai… humanis macam apa yang ingin kau lihat dari manusia. Sosok kemanusiaan seperti apa yang kau harap datang dari onggokan daging berlapis-lapis bernama manusia. Lalu setelah kau temukan jawabannya, apa keadaanmu kini mampu mengubah sikap humanis mereka menjadi lebih baik? Saya sangat yakin jawabannya tidak.

Pada akhirnya saya hanya menyadari status saya sebagai penumpang. Penumpang tetaplah penumpang, ia tak dapat berbuat banyak dalam perkara jalan yang akan dilalui kendaraan yang ditumpanginya. Pengemudi menjadi satu-satunya pemegang kendali. Akan lain ceritanya jika pemilik mobil yang datang dan berbincang dengannya.

Salam ilalang



4 Maret 2017

Mengendap di laptop cukup lama. Sengaja diunggah, siapa tahu bermanfaat. Siapa yang tahu?
Maaf jika kurang berkenan.


Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...